Puisi

Kamis, 30 Januari 2014

Teks Anekdot "Fatwa Menikah"

Fatwa Menikah
Suatu sore di akhir Ramadhan, beberapa orang ikhwah tampak sedang bercengkrama di teras masjid Baitul Hikmah, Cilandak sambil menunggu waktu berbuka puasa. Mereka semua adalah para peserta I’tikaf Ramadhan yang datang dari tempat yang berbeda-beda. Dan mereka kini terlibat pembicaraan serius tentang kegiatan dakwah di kampusnya masing-masing. Beberapa saat kemudian datang seorang Ikhwah dengan tergesa-gesa, membawa suatu kabar.
” Assalamualaikum wr wb, Ikhwan semua, antum sudah dengar belum ada fatwa terbaru dari Dewan Syariah, baru keluar pagi tadi lho !”
Dengan serempak mereka menjawab,
” Waalaikum salam, fatwa terbaru tentang apa akhi ? ”
” Tentang Menikah !”
” Menikah ? apa saja isi fatwa tersebut ? ”
” Isinya cuma satu pasal tapi penting, bahwa mulai sekarang seorang Ikhwan tidak boleh menikah dengan akhwat satu kampus.”
Semua ikhwah yang mendengar terkejut, dan saling memberi komentar satu sama yang lain.
“Apa alasannya akhi, khan tidak melanggar syar’i ?”
“Kok bisa begitu, lalu bagaimana sama yang sudah berproses, langsung dibatalkan ya ..”
“Ane kira ini untuk kepentingan perluasan dakwah juga ..”
“Kalau ane sih milih sami’na wa atho’na saja..”
Setelah beberapa saat terjadi tukar pendapat satu sama lain, akhirnya sang Akhi yang datang bawa kabar tersebut dengan mimik serius menjelaskan,
“Tenang Akhi.., fatwa tersebut memang harus di dukung dan ada dalilnya kok, bukankah Syariah Islam membatasi seorang Ikhwan untuk menikah hanya sampai dengan empat orang akhwat, maka bagaimana mungkin seorang ikhwah mau menikah dengan ‘akhwat satu kampus’ yang jumlahnya ratusan ..!”

Sepotong Hati

Sepotong hati,
bersimpuh di atas sajadah yang tergelar,
basah oleh air mata istighfar,
mengalirkan dosa yang mengakar
dalam relung jiwa.

Sepotong hati,
mengais sisa-sisa kekuatan,
menghimpun keping hati yang berserakan,
berusaha bangkit melawan berjuta beban.

Selamanya Cinta

Aku melihatnya melintas di depan mataku. Jilbab pink lembut dan baju bunga-bunga, ia sungguh menawan hati. Dengan lincah ia kendarai motor matic putihnya, menandakan bahwa ia sosok wanita yang mandiri. Helm biru muda yang selalu ia kenakan, juga menandakan bahwa ia wanita yang patuh pada aturan dan setia. Wajah itu begitu lembut. Ia tetap terlihat cantik meskipun tanpa seulas senyum.

 

Lama sudah aku tak melihatnya. Hanya sesekali ketika aku online, membuka facebook, untuk sekadar melihat-lihat foto profilnya. Namun hari ini aku benar-benar melihatnya. Aku bahagia, tetapi masalahnya hati ini menjadi berdebar tak karuan. Detak jantung ini berdegub lebih cepat dari biasanya. Desiran darah ini pun terasa mengalir lebih hangat. Mengapa selalu ada rasa yang seperti ini bila aku berjumpa dengannya? Mengapa pula aku selalu menjadi seorang pecundang sejati bila di hadapannya? Ya, pecundang sejati....sebab untuk sebuah kata maaf pun tak pernah terucap dari bibirku atas kesalahan yang kuperbuat kepadanya.

AKU INGIN ― Sapardi Djoko Damono

“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu"

"aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Jalan Akhir Cintaku

Jumat itu, dalam rintik hujan pada waktu petang, kau mengantarku pulang. Dengan membonceng motormu, berlindung di balik jaket yang kau kenakan padaku, sedang kau sendiri merelakan dirimu kehujanan. Jalan yang dilalui terasa lebih sunyi dari biasanya. Ditambah pula diamku dan diammu, yang membuat makin terasa sunyi. Aku ingin berbicara memecahkan keheningan, namun tak mampu, suaraku rasanya tersekat di kerongkongan. Jika ku paksakan untuk berbicara, maka yang mungkin keluar adalah isak tangisku. Petang itu, dadaku terasa benar-benar sesak. Aku bertahan sekuatku untuk tidak menangis, padahal bola mataku sudah mulai meremang hangat, tanda siap mengalirkan air mata. Sesampainya di tujuan, aku turun perlahan. Ku lepas jaket yang sedari tadi melindungiku dari dingin air hujan, dan ku serahkan kembali padamu. Saat beradu pandang, jantungku kembali berdegup kencang. Perasaanku campur aduk tak karuan. Dari tatapanmu terpancar sebuah bahasa mata yang tak dapat ku pahami. Matamu seolah berkata-kata dan ku tak mengerti apa artinya, mungkin hanya kau dan Tuhan yang tahu. Berat langkah kakiku, sebenarnya aku enggan untuk beranjak, namun aku harus pergi. Sekali lagi ku pandang wajahmu lekat-lekat, ku temui tatapan matamu yang masih juga tak ku pahami. Aku pun pergi dan tidak melihat ke arahmu lagi. Kau masih terpaku di tempatmu, tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun padaku. Dalam diam kau melepasku berlalu. Aku berjalan sambil menangis, kau mungkin tak tahu. Atau mungkin kau tahu, tapi kau tidak peduli lagi padaku. Tak ada kata-kata perpisahan waktu itu, namun dalam hati kecilku, aku menyadari bahwa semua sudah berakhir. Di tengah isak tangis, ku dikejutkan dengan getar telepon genggamku. Ternyata pesan singkat darimu,
"sayang adek....begitu terasa, begitu menyiksa, tapi aku suka
Membaca pesanmu, hatiku kembali bergetar. Aku bahagia, sekaligus sangat takut kehilanganmu. Dan aku hanya mampu membalas,
"Jangan lupakan aku..." kalimat yang benar-benar menyerah pada keadaan.
"Tanpa kau minta pun, akan aku lakukan hal itu", jawabmu.
Itulah akhir dari sebuah cerita,

Dongeng "Katak Sombong"

Di sebidang kebun yang sunyi, ada sebuah tempayan yang lama sekali tak terpakai. Di dalam tempayan itu terdapat seekor Katak. "Hai...nyamuk-nyamuk kecil, kemari kalian, aku adalah penguasa jagad ini, kalian harus menurut padaku," ucap Katak menyombongkan diri. 

Nyamuk-nyamuk yang hidup di dalam tempayan itu selalu jadi korban kebuasan Katak. Mereka semua harus rela menjadi santapannya.

"Hai Katak, kamu boleh makan kami, tapi jangan makan telur-telur kami, dan jangan makan kakek nenek kami yang sedang sakit," pinta seekor nyamuk.

"Hai Nyamuk, aku adalah raja di sini, aku yang berkuasa, tidak ada yang lebih kuat dariku, ha..ha.." Katak tertawa terkekeh-kekeh mendengar permintaan Nyamuk.

"Katak jangan sombong kamu, di luar sana masih banyak makhluk yang lebih besar dan kokoh dari kamu."

"Hah, apa katamu, di luar sana?" Katak merasa tersinggung dengan ucapan Nyamuk. Dengan sekuat tenaga, Katak melompat keluar dari tempayan itu. "Wah...ternyata di sini jauh lebih luas dan lebih indah, dunianya berwarna-warni," ucap Katak keheranan.

Saking asyiknya mengamati keindahan alam, Katak menyandung kaki sapi, "Auu...benda apa ini?" umpat Katak.

"Hemmmmoooooo...aku adalah sapi, kamu siapa? Aku belum pernah melihatmu?" tanya Sapi kepada Katak.

"Aku Katak penguasa dunia," kata Katak dengan nada sombongnya.

"Apa? Penguasa dunia? Dengan tubuhmu yang kecil itu?" tanya Sapi yang mulai dibuat jengkel dengan kesombongan Katak.

"Hai, Sapi, lihat aku. Aku akan membesar melebihi tubuhmu!"

Dengan sekuat tenaga, Katak meniup perutnya sampai membesar. "Hai Sapi, lihatlah tubuhku kuat dan perkasa."

"Apa? Tubuhmu masih kecil....bandingkan saja dengan kakiku, belum seberapa!"

Merasa tertantang, Katak terus meniup tubuhnya hingga membesar, membesar, dan membesar. AKhirnya Katak sombong itu meletus karena perutnya tidak kuat lagi manahan udara. Karena kesombongannya, maka Katak itu akhirnya celaka sendiri.

Malam Jumat



Malam kian pekat
Namun penuh berkat
Ada pelukan hangat nan erat
Berjabat mesra dalam hasrat
Sekejap kita melepas penat